Friday, March 29, 2013

La Diva: Hotel Paling Nyaman & Representatif



Ada banyak hotel yang berada di Sumedang, salah satunya adalah La Diva. Hotel dengan citra nuansa Neo Classic & Natural ini berlokasi tepat di pusat Kota Sumedang,ber jarak hanya sekitar 100 meter dari Alun-alun Sumedang.

La Diva merupakan satu-satunya hotel paling nyaman & representatif di Kabupaten Sumedang dengan total 24 kamar lengkap dengan water heather tiap kamar, beauty care & spa, area serbaguna. Fasilitas ini  dapat Anda gunakan untuk meeting maupun wedding party dengan view pemandangan alami.

Berikut alamt La Diva Hotel:
Jl. P. Suriaatmaja No. 36 , Sumedang Selatan, Indonesia 45312

Sunday, February 24, 2013

Koran Sumedang: Dari Publik untuk Publik

Dari sebagian banyak media massa yang ada di Sumedang, Koran Sumedang lahir tidak serta merta ikut latah dengan menampilkan topik berita dan gaya penulisan sama. Koran Sumedang berbeda, dimana dengan dipadukan hasil investigasi dan penulisan berita yang mendalam, tentu tetap ringan untuk dibaca dengan menyajikan data dan fakta dari sumber yang kompeten dibidangnya. Inilah yang menjadikan Koran Sumedang tampil elegan. 
Tak hanya itu, Koran Sumedang berkomitmen untuk menjadikan salah satu bagian untuk mewujudkan good governance di negeri ini.

Keberadaan Koran Sumedang memberikan nuansa yang berbeda. Tentunya sebagai wadah berkiprahnya para jurnalis yang merupakan wujud nyata dalam upaya pembenahan visi dan misi jurnalistik menuju Pers yang mandiri dan Profesional dalam menjawab tuntutan masa depan yang diamanatkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Distribusi dan Kemitraan Koran Sumedang

Jumlah Oplah tertinggi yang dicapai oleh Koran Sumedang mencapai 4000 Eksemplar, dan kini (data tahun 2009) hanya 1200 Eks per edisi, penyebaran Koran Sumedang telah diterima hampir diseluruh wilayah Kabupaten Sumedang termasuk 272 Desa, 27 Kecamatan, 60 Perpustakaan Desa, 27 pondok pesantren se-Kabupaten Sumedang, dinas pemerintahan, swasta dan sekolah yang berada di wilayah kerja masing-masing PGRI Tingkat Kecamatan.

Selain dari hal tersebut di atas, Koran Sumedang pernah bekerjasama dengan Dinas Informasi dan Komunikasi tentang Koran Masuk Desa, dan dengan Tim PPK-IPM dalam pembuatan Buletin yang menjadi Suplemen Koran Sumedang, yang mana PPK-IPM merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dapat dikategorikan memiliki perangkat teknis yang cukup rigid. Secara substansial kegiatan PPK-IPM adalah bentuk intervensi dan rekayasa sosial ekonomi yang melibatkan ukuran-ukuran kuantitatif berupa angka indeks yang terdiri dari tiga aspek yaitu : Indeks Daya Beli, Indeks Kesehatan dan Indeks Pendidikan. Dan juga pernah menjalin kemitraan dengan pihak PT. PLN Persero APJ Sumedang dalam pembuatan rubrik khusus seputar PLN.

Referensi: KoranSumedang.com

Dia Anakku, bukan anakmu!


“Kaduhung mah moal tiheula” pepatah orang Sunda yang berarti menyesal selalu dating belakangan. Dan ini yang aku rasakan. Gara-gara Sinta yang mengenalkan aku pada Rian, yang mengaku mahasiswa favorit di Jatinangor, padahal ia hanyalah penjaga dealer pulsa. Ya. Perbuatan memalukan itu terjadi menjelang ujian akhir. Mimpi masuk perguruan tinggi kandas sudah. Sirna setelah aku terpedaya oleh fisik Rian yang hampir sempurna dimataku waktu itu. Mata agak sipit kayak Hyun Bin, aktor Korea. Rambut cepak berpostur atletis. Siapa sangka ia akan merebut mahkota yang seharusnya kujaga untuk seuamiku kelak.


“Rian Abraham, mahasiswa tingkat 2 Fakultas Teknik,” kenalnya waktu itu ketika aku dan Sinta hendak belanja di Jatinangor Town Square.
“Wulan,” jawabku singkat sembari menyambut tangannya.
Sinta sudah kuanggap saudaraku sendiri, ia kukenal sebagai sosok yang sederhana. Aku sempat iri padanya, perjuangan membantu orang tua aku acungi jempol buat Sinta. Penghasilan ayahnya yang tukang bakso keliling mungkin tak akan cukup untuk membiyai sekolah Sinta juga empat saudaranya. Meskipun saat ini Sinta duduk di kelas XII seperti aku, ternyata ia bisa meringankan beban ekonomi keluarganya. Aku tak pernah menanyakan darimana ia mendapatkan uang itu. Bukan urusanku.

Akhirnya aku tahu darimana Sinta mendapatkan uang, setelah ia menjerumskan aku menjadi korban selanjutnya. Menjual mahkota teman, bahkan saudaranya sendiri demi membiayai ekonomi keluarga. Ia telah sukses memperdayai aku dengan halus. Kepada Rianlah aku dijual.

Postif. Ya, aku positif diperut ini ada benih janin hasil perbuatan yang memalukan itu. Aku coba menutupi perut yang semakin besar. Aku balut dengan ikatan yang kuat. Teman-temanku merasakan keganjilan setelah melihat penampilan seragam yang aku pakai, kepalaku berbalut hijab. Inilah caraku menutupi kehamilan yang beranjak tujuh bulan.

Sepandai-pandainya tupa melompat akhirnya jatuh juga. Sepintar-pintarnya aku menutupi kebuntinganku, akhirnya diketahui. Bu Salma, guru bahasa Indonesia yang melihat perubahan pada diriku. Aku diinterogasi. Dan aku mengaku.
Tak ayal, aku dikeluarkan. Tidak ada keringanan bagi siswa seperti aku. Akhirnya dua minggu jelang ujian, aku dikeluarkan tak terhormat.
Orangtuaku terpukul, merasa terhina dengan noda hitam yang kugoreskan dalam catatan hidup yang tak pernah mereka lukiskan.  Bapak menjadi orang yang paling dicari para wartawan. Pantas, bapak anggota dewan. Terpampang di headline menjadi target seorang jurnalis. Apalagi ini berita heboh dari pejabat. Pasti surat kabar akan laku keras.

Aku diasingkan ke Ujungjaya, sebuah desa yang menjadi perbatasan antara Sumedang dan Majalengka. Di rumah Bi Idas kini aku menetap. Bi Idas adalah pembantuku ketika aku kecil. Panas menyengat memaksa aku harus tetap tinggal di kampung ini, demi melahirkan anak berayah yang tak halal, tak berakhlak pula.
Menjelang Dhuha, proses melahirkan pun berjalan dengan selamat, ini berkat bantuan paraji, Mak Nengsih, dukun beranak kampong ini. Hampir semua anak yang dilahirkan di kampung ini hasil tangan terampilnya.
Aku melahirkan tepat ketika tepat dengan kelulusan teman-temanku di kota. Aku kecewa pada diriku sendiri. Kenapa aku tak bisa mengemban amanah yang telah diberikan Allah.

“Hidup ini adalah amanah. Maka, kewajiban kitalah untuk menjaga amanah itu dengan sebaik-baiknya,” pernah kudengar isi ceramah pagi yang disampaikan Ustad Abu Diba di pesawat radio.

Bayi mungil nan cantik, Syifa Hayati menjadi teman sehari-hariku selain Bi Idas. Ia menjadi penyemangat hidup untuk terus berjalan. Syifa adalah obat luka masa suramku.

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sosok yang pernah kukenal.kulihat dari kejauhan, di warung Mang Ujo, ia tengah menunjukkan secarik kertas kepada salah seorang warga yang sedang belanja. Kuyakini ia menanyakan alamat rumah Bi Idas, rumah yang kini kutempati bersama Syifa, buah hatiku.  Aku cepat-cepat pulang, mengunci pintu, Bi Idas yang sedang di dapur hanya menggernyitkan kening.
Benar saja, kulihat dari jendela kamar, ia semakin mendekati rumah panggung ini. Tidak sendiri. Ia ditemani Sinta.

“Tok…Tok…Tok…,” dengan keras ian mengetuk pintu. Aku diam, Bi Idas hening. Tapi tidak dengan Syifa.
“Tok…Tok…Tok…” kembali  Rian mengetuk pintu kesekian kalinya.

Aku coba membekap mulut Syifa dengan tangan supaya ia tak bersuara. Tapi ia berontak. Seolah ia menolak kedatangan Rian.

Bi Idas membukan pintu. Rian masuk tanpa permisi.
“Mana anakku?” tanyanya seperti singa yang akan menerkam.
“Ulan… Ulan.., mana anakku?” bentaknya lebih keras
Aku keluar kamar. Syifa tak juga berhenti menangis.
“Kesinikan anakku!”
Dengan paksa ia telah merebut Syifa daari gendonganku. Syifa ada ditangannya.
“Dia anakku, bukan anakmu!” kucoba merebut kembali Syifa.
“PLAK…”
Tamparannya mendarat di pipiku. Aku limbung. Yang kuingat, kepalaku tersungkur mendarat di ujung meja ruang tamu.
***
Dimuat pada rubrik eKs-PRESI SK Sumedang Ekspres (Jawa Pos Group), Senin 27 Agustus 2012, hal.6
 
* Penulis, bergiat di Jaringan Pena Ilma Nafia (JPIN), Yogyakarta.

Gairah Kesusastraan di Sumedang

     Pada hakikatnya manusia itu menghayati seni, entah disadari atau tidak segala tindak-tanduk manusia tidak lepas dari seni. Ketika kita akan menghadiri pesta pernikahan maka akan membuka lemari untuk mencari baju mana yang pas, sesuai dengan suasana, dan ketika bercermin pun seorang wanita akan senantiasa bercermin untuk memberi bedak atau lipstik agar dia nampak lebih cantik. Begitu juga bagi pria, dia akan berpikir untuk mengenakan baju yang pas dan serasi dengan pasangannya. Kegiatan-kegiatan yang tadi disebutkan secara tidak sadar merupakan aktifitas seni; menyesuaikan, menyelaraskan, memperindah diri agar enak dipandang oleh orang lain.

     Begitu juga ketika sedang sms-an dengan orang lain, seorang pria akan senantiasa mengirimkan pesan-pesan yang puitis untuk kekasihnya agar pasangannya merasa senang. Mungkin pria tersebut tidak sadar bahwa aktifitas yang sedang dikerjakannya itu adalah suatu hal yang berkaitan dengan seni, atau dengan sastra (puisi), begitu juga dengan wanitanya; dia akan merasa senang bila diberi kata-kata yang puitis; karena itu manusiawi. Menyimak status-status yang terdapat di facebook, setiap orang cenderung untuk membuat kata-kata yang puitis, memosting status dengan kata-kata yang indah, karena memang benar; manusia tidak bisa lepas dari yang namanya seni.Bahkan Mario Teguh pun membuat statusnya dengan model puisi; diberi judul, ada isinya, dan pewajahannya seperti puisi; ada bait-bait.
     Sangat disayangkan apabila mereka yang memiliki bakat dalam menulis tapi tidak mengembangkannya lebih serius lagi. Seseorang akan nampak terlihat berbakat dalam penulisan sastra (prosa, puisi, dan drama) bila dilihat dari tulisan-tulisannya yang masih original, maksud original di sini belum terkontaminasi oleh tulisan orang lain, baik gaya penulisannya maupun dari tema yang sering digarapnya. Bila karya yang original tersebut sudah bagus; dengan kata lain sudah memakai peralatan puitik; gaya bahasa, metrum, pewajahan dll. Bagaimana jadinya kalau orang tersebut intens belajar puisi? Tidak menutup kemungkinan kemahirannya dalam bersastra akan berkembang.
     Banyak hal yang menyebabkan mengapa mereka tidak mengembangkan minatnya, bisa saja karena kurangnya ruang untuk berproses. Komunitas sastra sangat dibutuhkan bagi seseorang untuk menumbuhkembangkan minatnya (tidak hanya sastra), agar minatnya itu terus terasah, nantinya akan terlihat orang tersebut berbakat atau tidak. Seseorang yang berminat belum tentu dia berbakat, namun bukan berarti orang yang memiliki minat dilarang untuk berproses dalam sebuah komunitas. Sah-sah saja bagi mereka untuk berkreasi, mengeksiskan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang mencintai kesenian, dalam hal ini kesusasteraan.
     Membaca karya-karya yang dimuat dalam koran Sumedang Ekspres, penulis sangat bahagia sekali karena di Sumedang masih banyak orang yang menyukai sastra. Dapat dilihat dari tiap harinya ada karya yang dimuat dalam koran ini, baik itu cerpen maupun puisi. Tentu saja karya yang dimuat dapat disebut sebagai sebuah puisi; secara konvensi puisi harus ada judul dan isi, namun kualitasnya harus lebih ditingkatkan lagi. Sebagaimana yang penulis sebutkan di atas; mereka ini kekurangan ruang untuk berproses kreatif, dalam sebuah komunitas akan tercipta sebuah atmosfer untuk berkompetisi, saling mengapresiasi karya, saling kritik, dan berbagi pengetahuan tentang kepenulisan.
     Perkembangan teknologi dan komunikasi telah berkembang, kini ruang dapat ditanggulangi dengan banyak media digital, salahsatunya ialah facebook. Keberadaan facebook ini tidak semata-mata hanya untuk bersosialisasi, dengan facebook kita dapat berproses kreatif tentang kepenulisan sastra. Penulis sendiri berproses kreatif di facebook, di sana ada sebuah komunitas/grup sastra yang bernama Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, yang diasuh oleh Dimas ArikaMihardja yang aktif dalam dunia kesusasteraan Indonesia, dari sinilah penulis intens sekali belajar tentang sastra, khususnya puisi.
      Setelah kurang-lebih dua tahun berproses dari grup ini, kualitas penulisan puisi mulai membaik, mulai memiliki buku-buku antologi bersama, mengeluarkan buku antologi tunggal, pergi ke luar daerah, dan prestasi yang paling tinggi sampai saat ini ialah lolos seleksi, terbang secara gratis ke Jambi untuk mengikuti Pertemuan Penyair Nusantara ke-VI pada akhir tahun yang lalu (28-31 Desember) bersama dengan 23 penyair lainnya dari Jawa Barat, kegiatan ini diikuti oleh 213 penyair dari berbagai negara: Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan Perancis. Media apapun dapat dijadikan sebagai sarana untuk berproses kreatif, mengembangkan atau meningkatkan kualitas karya kita.
     Melihat tingginya gairah anak muda di Sumedang untuk menulis karya sastra, penulis optimis untuk mengembalikan Sumedang ke dalam peta kepenyairan di Jawa Barat bila diasuh dengan baik, dari Sumedang juga ada Saini KM yang telah menjadi sastrawan tingkat nasional yang tahun lalu mendapat FTI Award dari Federasi Teater Indonesia yang dianggap berjasa mengembang seni teater Indonesia. Bila dibandingkan dengan Bandung, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan daerah lainnya bisa dikatakan Sumedanglah yang paling tertinggal dalam kesusasteraan Indonesia (bukan daerah). Perlu adanya peran aktif dari mereka yang memiliki minat untuk mencari akses untuk mengembangkan minatnya, juga perlu bagi komunitas yang ada di kampus-kampus untuk terjun ke sekolah untuk mengadakan workshop atau pelatihan penulisan karya sasta, juga peran guru Bahasa Indonesia sangat penting di sini untuk dapat membimbing anak-anaknya yang tertarik terhadap penulisan karya sastra.
Sumedang, Januari 2013

(dimuat di harian Sumedang Ekspres tanggal 22 Januari 2013)

Saturday, February 23, 2013

Rampak Kendang “KOBEN” SMAN 1 Situraja Ikut semarakkan Liga Pendidikan Indonesia


 Kompetisi sepakbola antar pelajar se – Kab. Sumedang yang diselenggarakan di Stadion Achmad Yani, begitu semarak dengan penampilan  Rampak  Kendang yang dibawakan dengan sangat dinamis dan riang oleh siswa SMAN 1 Situraja Sumedang yang  tergabung dalam KOBEN.
Nama “KOBEN” merupakan singkatan dari Koempoelan Baroedak Keren. Rampak Kendang merupakan salah satu kegiatan ekstra kulikuler  yang ada di SMAN 1 Situraja. Usianya masih sangat  muda, sekitar bulan  Oktober 2010 yang lalu.
“Kami berdiri sekitar bulan Oktober 2010, meskipun masih terbilang sangat muda, tapi respon dari masyarakat sangat tinggi. Terlihat banyaknya berbagai pihak  yang meminta kami untuk memeriahkan kegiatannya sebagai acara pembuka.” tutur Pembina Rampak Kendang, Dedi Cahyadi, S.Sn.

RAMPAK KENDANG -  Kreasi dari siswa SMAN 1 Situraja Sumedang, dalam acara Liga Pendidikan Indonesia di Stadion Achmad  Yani Sumedang (18/1/2011)
Dedi menambahkan, bahwa kehadiran Rampak Kendang yang ia bina sebagai perwujudan  mendukung Sumedang menjadi Puser Budaya Sunda.
Selain Rampak Kendang, ikut pula yang memeriahkan Drum Band dari SMA yang sama, SMAN 1 Situraja. Tapi penampilan dengan alat tradisional itu seolah menghipnotis penonton yang hadir di tribun atas Stadion Achmad Yani, termasuk Wakil Bupati Sumedang, Taufiq Gunawansyah, S.IP yang turut hadir dalam acara tersebut.
Grup yang beranggotakan 17 orang ini, yang semuanya kelas X, begitu lincah memainkan kendang. mendapatkan sambutan meriah dari  pengunjung yang hadir.   Penonton sangat terpukau dengan penampilan mereka  yang sangat variatif.
“Kami ingin memajukan budaya sunda, supaya tetap lestari. Kita  sudah terbuai dengan musik-musik modern. Kalau bukan kita, siapa lagi?” begitu jawab Cepi Herawan, siswa kelas X, ketika ditanya kenapa mengikuti eskul Rampak Kendang.     ( Roni Yeef ) ***

****
Tulisan di atas hasil liputan Crew I Love Sumedang yang dimuat di Tabloid Pendidikan Lintas Pena

Tuesday, June 19, 2012

Masjid Pertama di Sumedang

sourche image: sumedangdailyphoto.com
Masjid ini adalah masjid pertama yang dibangun di Sumedang. Berada di kawasan Tegalkalong, tak jauh dengan Pasar Inpres Sumedang.

Pondok Pesantren Nuurul Hidayah, Cipatat

Pondok Pesantren Nuurul Hidaayah berada di lokasi Kampung Cipatat Desa Sekarwangi Kecamatan Buah Dua, Sumedang.Pesantren yang tak jauh dari Pemandian Cipanas Sekarwangi ini disesepuhi oleh kyai kondang, KH. M. Fakhruddin bin Ghozali. Adapun metode pembelajaarannya tak jauh beda dengn pesantren salafiyah lainnya, seperti sorogan dan bandongan.