Oleh: Abdal Fauzi*
“Kaduhung mah moal tiheula” pepatah orang Sunda yang berarti menyesal selalu dating belakangan. Dan ini yang aku rasakan. Gara-gara Sinta yang mengenalkan aku pada Rian, yang mengaku mahasiswa favorit di Jatinangor, padahal ia hanyalah penjaga dealer pulsa. Ya. Perbuatan memalukan itu terjadi menjelang ujian akhir. Mimpi masuk perguruan tinggi kandas sudah. Sirna setelah aku terpedaya oleh fisik Rian yang hampir sempurna dimataku waktu itu. Mata agak sipit kayak Hyun Bin, aktor Korea. Rambut cepak berpostur atletis. Siapa sangka ia akan merebut mahkota yang seharusnya kujaga untuk seuamiku kelak.
“Rian Abraham, mahasiswa tingkat 2 Fakultas Teknik,” kenalnya waktu itu ketika aku dan Sinta hendak belanja di Jatinangor Town Square.
“Wulan,” jawabku singkat sembari menyambut tangannya.
Sinta sudah kuanggap saudaraku sendiri, ia kukenal sebagai sosok yang sederhana. Aku sempat iri padanya, perjuangan membantu orang tua aku acungi jempol buat Sinta. Penghasilan ayahnya yang tukang bakso keliling mungkin tak akan cukup untuk membiyai sekolah Sinta juga empat saudaranya. Meskipun saat ini Sinta duduk di kelas XII seperti aku, ternyata ia bisa meringankan beban ekonomi keluarganya. Aku tak pernah menanyakan darimana ia mendapatkan uang itu. Bukan urusanku.
Akhirnya aku tahu darimana Sinta mendapatkan uang, setelah ia menjerumskan aku menjadi korban selanjutnya. Menjual mahkota teman, bahkan saudaranya sendiri demi membiayai ekonomi keluarga. Ia telah sukses memperdayai aku dengan halus. Kepada Rianlah aku dijual.
Postif. Ya, aku positif diperut ini ada benih janin hasil perbuatan yang memalukan itu. Aku coba menutupi perut yang semakin besar. Aku balut dengan ikatan yang kuat. Teman-temanku merasakan keganjilan setelah melihat penampilan seragam yang aku pakai, kepalaku berbalut hijab. Inilah caraku menutupi kehamilan yang beranjak tujuh bulan.
Sepandai-pandainya tupa melompat akhirnya jatuh juga. Sepintar-pintarnya aku menutupi kebuntinganku, akhirnya diketahui. Bu Salma, guru bahasa Indonesia yang melihat perubahan pada diriku. Aku diinterogasi. Dan aku mengaku.
Tak ayal, aku dikeluarkan. Tidak ada keringanan bagi siswa seperti aku. Akhirnya dua minggu jelang ujian, aku dikeluarkan tak terhormat.
Orangtuaku terpukul, merasa terhina dengan noda hitam yang kugoreskan dalam catatan hidup yang tak pernah mereka lukiskan. Bapak menjadi orang yang paling dicari para wartawan. Pantas, bapak anggota dewan. Terpampang di headline menjadi target seorang jurnalis. Apalagi ini berita heboh dari pejabat. Pasti surat kabar akan laku keras.
Aku diasingkan ke Ujungjaya, sebuah desa yang menjadi perbatasan antara Sumedang dan Majalengka. Di rumah Bi Idas kini aku menetap. Bi Idas adalah pembantuku ketika aku kecil. Panas menyengat memaksa aku harus tetap tinggal di kampung ini, demi melahirkan anak berayah yang tak halal, tak berakhlak pula.
Menjelang Dhuha, proses melahirkan pun berjalan dengan selamat, ini berkat bantuan paraji, Mak Nengsih, dukun beranak kampong ini. Hampir semua anak yang dilahirkan di kampung ini hasil tangan terampilnya.
Aku melahirkan tepat ketika tepat dengan kelulusan teman-temanku di kota. Aku kecewa pada diriku sendiri. Kenapa aku tak bisa mengemban amanah yang telah diberikan Allah.
“Hidup ini adalah amanah. Maka, kewajiban kitalah untuk menjaga amanah itu dengan sebaik-baiknya,” pernah kudengar isi ceramah pagi yang disampaikan Ustad Abu Diba di pesawat radio.
Bayi mungil nan cantik, Syifa Hayati menjadi teman sehari-hariku selain Bi Idas. Ia menjadi penyemangat hidup untuk terus berjalan. Syifa adalah obat luka masa suramku.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sosok yang pernah kukenal.kulihat dari kejauhan, di warung Mang Ujo, ia tengah menunjukkan secarik kertas kepada salah seorang warga yang sedang belanja. Kuyakini ia menanyakan alamat rumah Bi Idas, rumah yang kini kutempati bersama Syifa, buah hatiku. Aku cepat-cepat pulang, mengunci pintu, Bi Idas yang sedang di dapur hanya menggernyitkan kening.
Benar saja, kulihat dari jendela kamar, ia semakin mendekati rumah panggung ini. Tidak sendiri. Ia ditemani Sinta.
“Tok…Tok…Tok…,” dengan keras ian mengetuk pintu. Aku diam, Bi Idas hening. Tapi tidak dengan Syifa.
“Tok…Tok…Tok…” kembali Rian mengetuk pintu kesekian kalinya.
Aku coba membekap mulut Syifa dengan tangan supaya ia tak bersuara. Tapi ia berontak. Seolah ia menolak kedatangan Rian.
Bi Idas membukan pintu. Rian masuk tanpa permisi.
“Mana anakku?” tanyanya seperti singa yang akan menerkam.
“Ulan… Ulan.., mana anakku?” bentaknya lebih keras
Aku keluar kamar. Syifa tak juga berhenti menangis.
“Kesinikan anakku!”
Dengan paksa ia telah merebut Syifa daari gendonganku. Syifa ada ditangannya.
“Dia anakku, bukan anakmu!” kucoba merebut kembali Syifa.
“PLAK…”
Tamparannya mendarat di pipiku. Aku limbung. Yang kuingat, kepalaku tersungkur mendarat di ujung meja ruang tamu.
***
Dimuat pada rubrik eKs-PRESI SK Sumedang Ekspres (Jawa Pos Group), Senin 27 Agustus 2012, hal.6
* Penulis, bergiat di Jaringan Pena Ilma Nafia (JPIN), Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment